RSS

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Cerpen Guru (Putu Wijaya)

Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan
istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa
depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami
cepat-cepat ngajak dia ngomong.
"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu?
Betul?!"
Taksu mengangguk.
"Betul Pak."
Kami kaget.
"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."
Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka.
Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami dengar.
Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak
tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari
apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui
permasalahannya.
Kami bertambah khawatir karena Taksu tidak takut bahwa
kami tidak setuju. Istri saya menarik nafas dalam-dalam
karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai bicara
blak-blakan.
"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali
saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan
cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di
kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh
globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini
tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya
jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih
yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja.
Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan
loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi
guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal,
kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"
"Tapi saya mau jadi guru."
"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup
guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawartawarkan
sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau
beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol
besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya
saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga
guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena
profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat
ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu.
Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya
menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada
guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang
punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan.
Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik
menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa
kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu
masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah
sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan
otak dingin!"
"Sudah saya pikir masak-masak."
Saya terkejut.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
Taksu menggeleng.
"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya
ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!”
Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel
sepanjang perjalanan. Yang dijadikan bulan-bulanan, saya.
Menurut dia, sayalah yang sudah salah didik, sehingga Taksu
jadi cupet pikirannya.
"Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak
perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh
diri!"
Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak
disukainya, semua dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib
suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa galak melebihi
macan, berhadapan dengan istri, hancur.
Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami
berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya.
Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan kosong. Istri saya
membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri
membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai
kejutan.
Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat
terpukul. Ketika kami tanyakan bagaimana hasil
perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban
yang sama.
"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak,"
katanya sama sekali tanpa rasa berdosa.
Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi.
Langsung kencang mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang
marahnya. Taksu disemprotnya habis.
"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh
oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri
saya. "Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru
itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua!
Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang
sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca
di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat
sekarang? Ah?”
Taksu tidak menjawab.
"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi
lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji yang
setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu,
sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orangorang
seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau
banting tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu
tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang
yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru.
Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba
dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya
nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja
kamu tidak nyahok?"
Taksu tetap tidak menjawab.
"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu
sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah
sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu.
Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang
meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya
duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memakimaki
duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit?
Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu
pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu
menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak
berguna? Paham?"
Taksu mengangguk.
"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"
Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya.
Akhirnya dia menyembur.
"Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir
lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih
mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal
hidup matimu sendiri, Taksu!”
Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik
saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di jalan istri
saya berbisik.
"Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu,
sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang memerlukan
perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang
menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak
zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top
tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya
mau mengikuti apa nasehat kita!"
Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya
bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya atau
kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin
akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa
saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih
kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur
suami, dari perasaannya sendiri.
Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga
tidak menghubungi kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak
memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu
minta diperhatikan anak.
Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi.
Sekali ini saya datang dengan kunci mobil. Saya tarik
deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil.
Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya
kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan
bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya,
jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan,
nanti.
"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci
mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus
memberi hadiah buat Bapak.”
Taksu melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Pak?"
Saya tersenyum.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk
memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu
sebenarnya?"
Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut
kembali.
"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh
kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa
kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang
tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami,
Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu
meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami
juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa
dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau
kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok
mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi
guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali
menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga
semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran.
Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"
Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya.
Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di
dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya.
Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas
perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas
telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.
"Saya ingin jadi guru. Maaf."
Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya
tampar. Kebandelannya itu amat menjengkelkan. Pesawat
penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cukup baik.
Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam
dan masukkan ke kantung celana.
"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan
kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja
sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung
bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu
baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan
itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan
lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti
akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat
hancur! Tapi tak apa."
Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar
naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah dicocok hidungnya
oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu,
kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap
sudah kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya
terkiblat pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!
Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya
membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya
mengajukan pertanyaan yang sama.
"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu
sebenarnya?"
"Mau jadi guru."
Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas
meja. Gelas di atas meja meloncat. Kopi yang ada di dalamnya
muncrat ke muka saya.
"Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup
buat membuka mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki
oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu mau jadi
guru, Taksu?!!!"
"Karena saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"
"Saya mau jadi guru."
"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."
Taksu menatap saya.
"Apa?"
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau
sekarang juga!!" teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.
"Bapak tidak akan bisa membunuh saya."
"Tidak? Kenapa tidak?"
"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa
busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap
tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan
memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan
datang. Guru tidak bisa mati, Pak."
Saya tercengang.
"O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau
jadi guru?"
"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau
mati."
Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak
saya. Saya jadi gugup.
"Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori
pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu? Siapa yang
sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?"
Taksu memandang kepada saya tajam.
"Siapa Taksu?!"
Taksu menunjuk.
"Bapak sendiri, kan?"
Saya terkejut.
"Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu!
Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup dengan
nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu
kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau
main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada
guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu
tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu
kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan
menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus
kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu
harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati
mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu
tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?"
Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua
persepsinya tentang hidup. Dengan tidak malu-malu lagi,
saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-mentang
cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang
gelap.
"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta
bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip
iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi
buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah
terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak
berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi
kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan
keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab
mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara
bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup
di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan
pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan
dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu
semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita
bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang
menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya
memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih
manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau
menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab?
Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga!
Ini!"
Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya
dengan sangat marah.
"Ini satu milyar tahu?!"
Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu
saya ambil kembali sambil siap-siap hendak pergi.
"Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab
kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan perempuan itu.
Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali
perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat
gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"
Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan
pada istri saya apa yang sudah saya lakukan. Saya kira saya
akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya bengong. Ia tak
percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika
kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan saya
dibentak habis-habisan.
"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!"
teriak istri saya kalap.
Saya bingung.
"Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau
memang mau ngasih anak mobil, kasih saja jangan pakai
syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak
dagang. Dasar mata duitan!"
Saya tambah bingung.
"Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"
Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur,
hati saya rontok. Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas
tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat ke
sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi
buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program
bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi
tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan
lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana
mungkin saya akan biarkan dia kabur?
"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.
Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi
sudah terlambat. Anak itu seperti sudah tahu saja, bahwa
ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu
sudah kosong. Dia pergi membawa semua barangbarangnya,
yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan
pesan kecil:
"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."
Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari
buku hariannya itu. Kertas yang nilainya mungkin hanya
seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang
harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya.
Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang
masih ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah sudah
takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau
saya kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan
pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang
sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia,
padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang
brengsek.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran
listrik. Tetapi ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri
saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu ia
mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan
kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi
sasaran. Untuk pertama kalinya saya berontak. Kalau
tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya balbalan.
Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang
sebab untuk pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di
bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar keras.
Tetapi itu 10 tahun yang lalu.
Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses
segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan.
Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul
beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar
yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor
barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai
wilayah mancanegara.
"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya.
Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik
generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena
jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika
Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah
pergurauan tinggi bergengsi. ***
Mataram,Jakarta, 22-10-01
Jakarta, 31-12-01
Sumber: Jawa Pos, Edisi 05/08/2005

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar