RSS

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Bersih v.s Kotor

baru kali ini aku beres2 halaman depan kamarku sendiri....mungkin ini hikmah aku pindah ke rumah kontrakan...segalanya harus di urus sendiri...hahahaha!!! Yah meskipun harus kering ne tenggorokan gara2 beres2 tadi, padahal lagi puasa, hahahaha, tapi ada beberapa hal yang aku pelajari..

pertama, bersih itu lebih enak dilihat chuy...daripada kotor...meskipun belum selesai sepenuhnya tapi setidaknya ada perbedaanya...coba deh dilihat ne...
 Foto Sebelum aku bersihin...

halaman depan sebelum aku bersihin

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hampa

Di bulan Ramadhan ini, setiap hariku terasa hampa. Jadwal tidak beraturan. Selalu tidur setiap habis sahur, hingga terkadang kebablasan ga shalat subuh. Shalat lima waktupun jarang tepat waktu. Kehidupanku kacau.

Apa sebenarnya yang terjadi padaku?hidupku terasa hampa!!! Mungkini ini karena aku tak dekat dengan_NYA. semoga di sisa waktuku ini aku bisa kembali kepada-NYA dalam keadaan yang tentram....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kapan kematian menjemputku?

Kecelakaan pesawat Polandia, penumpangnya adalah pejabat-pejabat penting Polandia, termasuk Presiden dan Ibu Negara. Kematian yang tak diduga. Entah ini berbentuk konspirasi atau murni kecelakaan. Tapi yang pasti, kematian ini pasti tidak pernah terkirakan oleh sang Presiden.

Aku pun begitu. Kita pun sama. Tak ada yang tau kapan kita di ambil olehNYA. Bisa saja satu detik kedepan kita mati. Satu menit, satu jam, satu bulan, atau bahkan satu tahun lagi kita akan mati. Tak ada yang tahu itu.

Persiapan menuju kematian, kadang tak terpikirkan sama sekali. Setiap saat yang aku lakukan adalah hal-hal yang mungkin sia-sia, terlalu mengejar materi dan derajat. Mungkin itu penting, tapi hanya penting dalam kehidupan dunia. Kehidupan setelah kematian tidak aku fikirkan. Tapi aku percaya bahwa itu ada.

Sudah saatnya aku berpaling dari kehidupan yang sekarang ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Milyar-an uang itu mereka pergunakan untuk apa?

Seandainya aku memiliki banyak uang...ingin banget rasanya bagi2 bareng orang-orang miskin itu....tepi kenapa "mereka" bisa menghabiskan bermilyar2 uang hanya untuk menggelar rapat besar?mampu menghabiskan beratus-ratus juta untuk bersilaturrahmi?aku belum dapat mencerna dan memahami semua itu. Entah ini hanya akibat dari kekerdilan fikiranku atau hanya sebuah kerisihan semata karena aku juga turut memanfaatkan rapat besar itu?atau hanya orientasiku yang selalu mengukur semua dengan uang?

Terlalu megah, itu saja pikiranku. Kenapa tidak mencoba dengan sederhana saja? Sederhana tapi bisa maksimal dalam menghasilkan. Ah, tapi lagi-lagi aku belum begitu matang dalam konsep ini. Aku sebenarnya ingin sederhana saja....tak ada lagi orang miskin di negara ini, smentara yang lain dengan enaknya menghamburkan uang. Tapi, itu hanya selalu ada pada dataran idealismeku saja...kapan itu menjadi realitas?aku tidak tahu...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Peluang Usaha Teh Rosela

Masyarakat Indonesia memiliki pola hidup yang cukup unik, yaitu meminum teh dipagi hari. Hampir di setiap kantor pemerintahan, usaha dan juga sekolah, selalu disediakan teh untuk karyawan maupun pegawainya. Teh yang biasa disajikan adalah teh hitam yang telah mengalami fermentasi penuh. Kebiasaan minum teh di Indonesai lebih karena untuk menyeduhkan kenikmatan minum di pagi hari. Sedangkan di China dan Jepang, kebiasaan minum teh lebih ditujukan untuk kesehatan karena khasiatnya.

Kebiasaan ini tentunya patut di apresiasi oleh para usahawan. Saat ini banyak sekali teh yang menawarkan khasiat kesehatan. Sebut saja teh hijau yang kin sudah hampir tercipta dimana produk teh dengan memanfaatkan teh hijau. Dari hal inilah bisa dilirik peluang untuk memulai bisnis di bidang minuman teh dengan bahan baku bunga rosella.

Dari segi kandungannya, setiap 100 gr mengandung 260-280 mg vitamin C, vitamin D, B1 dan B2. Kandungan vitamin C 3 kali lipat anggur hitam, 9 kali lipat jeruk sitrus, 10 kali lipat lebih besar dari buah belimbing dan 2,5 kali lipat dibanding vitamin C dalam jambu biji (kelutuk). Selain itu Teh Rosella mengandung KALSIUM tinggi ( 486 mg / 100 gr) , Magnesium serta Omega 3. Teh Rosella juga diperkaya Vitamin A, Iron, Potasium, Beta Caroteen & Asam Esensial.

Dari kandungan inilah teh rosella ini dipercaya memiliki beberapa khasiat, diantaranya adalah meningkatkan stamina dan daya tahan tubuh. Juga mampu menormalkan kadar gula darah , asam urat dan kolesterol dalam tubuh. Teh rosella juga baik untuk perokok karena dapat mengurangi dampak negatif dari Nikotin serta dapat membasmi virus TBC dan mengurangi ketergantungan terhadap narkoba serta mencegah kanker.

Khasiat lain dari rosella adalah mengatasi batuk, sakit tenggorokan, mengobati sariawan, mengawetkan kehalusan kulit dan mengurangi keriput. Dapat menurunkan berat badan, cocok untuk program diet, melindungi dari infeksi kuman, anti bakteri , anti virus serta dapat mengobati keracunan. Memperbaiki metabolisme tubuh, memperlambat menopouse dan tulang keropos / pengapuran tulang. Bagi Anak-anak bermanfaat mempercepat pertumbuhan otak, karena mengandung Omega-3 dan memacu pertumbuhan DHA.

Dari berbagai khasiat inilah yang menjadikan bisnis rosella begitu menjanjikan dan juga mampu mewarnai bursa teh di Indonesia. Peluang ini tentunya masih terbuka lebar, terkait karena memang teh rosela belum begitu populer dikalangan masyarakat. Kalau minum teh itu bisa menyehatkan, kenapa tidak pilih teh rosela?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Peranku

Terkadang aku merasa aneh dengan diriku sendiri. Aku merasa peranku sangat belum maksimal. Bahkan terkadang aku ingin berperan dalam semua hal. Padahal seharusnya aku bisa fokus. Yah, karena setiap orang harus punya peran masing-masing. Dia tidak akan mungkin bisa untuk berperan dalam semual hal.

Yang aneh pada diriku, aku belum bisa menentukan kemana aku akan melanjutkan sisa perjalananku ini. Aku kuliah di Pertanian, tapi aku di Mu'allimin malah ngurusi olahraga. Organisasi yang aku ikuti secara intens malah IPM yang memang mengurusi pelajar. Di IMM pun aku tidak terlalu berperan. Di POPMASEPI? ah, aku belum bisa berbuat banyak, hanya sebatas permainan politik, belum pada taraf berdialog maupun berperan aktif dalam pengembangan keprofesian agribisnis dan sosial ekonomi pertanian. Yang makin aneh lagi, bisnis yang sekarang aku geluti adalah bidang percetakan dan konveksi. So, sbenernya jalanku ini menuju kemana? dan akhirnya peranku tidak maksimal dalam kesemua hal itu.

Aku sebenernya tau bagaimana pemecahannya, bahkan aku sering bicara ini ke adik-adik angkatanku. Hanya saja, ternyata semua tidak semudah yang kita omongkan. Lagi-lagi memang perlu kebulatan tekad dan keberanian yang besar untuk mengambil keputusan yang besar. Suatu saat, aku memang harus fokus...entah kapan aku belum bisa memutuskan sekarang. Memerlukan jiwa yang besar dan kerelaan hati.

Hanya saja, sekarang aku berfikir bahwa aku harus fokus dunia pertanianku. Itu memang yang seharusnya aku jalani. Hatiku serasa terpanggil untuk bisa berperan disana. Bukan kepengen lebay atau gimana, tapi entah kenapa ketika berbicara tentang pertanian, aku selalu merasa aku harus berperan disana.

Suatu saat, entah besok atau nanti beberapa menit lagi, aku akan meninggalkan IPMq, melepaskan statusku sebagai IMM, dan merelakan bisnis percetakan dan konveksiku dipegang dan dikelola oleh orang laen. Kapan itu saatnya? aku tak tau, yang pasti harus secepatnya. POPMASEPI, MPM Muhammadiyah, agribisnis dan dunia pertanian...mungkin disitulah jalanku. Semoga aku bisa bertahan dan berperan optimal disana. Amiiiinnn.

Namun...aku akui...waktu bisa mengubah jalan pikiranku.
(bimbang)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jogja-Solo feat PramEks

Baru kali ini saya naik prambanan ekspress, rasanya enak juga seh dibanding dengan kereta yang udah pernah saya naiki (padahal baru naek kereta 3 kali, hehehehe). Tempat duduknya kayak yang di bus TransJogja (meskipun belum pernah naik juga seh), saling berhadapan gitu dengan punggung kursi menempel di dinding gerbong. Pintu Keretanya juga ditutup, padahal pengen ngadem di deket pintu layaknya kenek bus kota sambil menikmati hamparan luas pertanian di rute jogja-solo ini (narsis dikit berhubung anak pertanian, hehe). Walhasil ya cuma duduk aja sambil baca koran atopun ngobrol bareng temen, coz saya ke solo bareng temen saya dari Prodi Agroteknologi FP UMY, klo saya dari Agribisnis. Tapi PramEks ternyata adem juga dibanding dengan kereta bisnis jurusan jogja jakarta, suananya juga lebih nyaman. bersih pula dan juga ga pengap. Saya pikir PramEks setara dengan kelas ekonomi, hehehe. Yeah..., at least, naik PramEks enak juga daripada naik bis. Pemandangannya lebih asyik cing, hahahaha.

Oia satu lagi, saya menjadi lebih cinta dengan bidang akademis saya, ternyata dunia pertanian menjadikan hati lebih sejuk. Nyaman rasanya bisa melihat hamparan lahan yang luas yang ditanami padi, jagung, dll. Indah, Ternyata potensi kita sangat besar, hanya saja pemanfaatannya belum optimal. Jadi pengen balik kampung ne, hehehehehe. Semoga saya bisa berdamai secepatnya dengan bidang akademis saya. Amiin..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Lagi-Lagi Kasus Bobroknya Hukum di Indonesia

Republika 2 Februari 2010 dan 3 Februari 2010 menyoroti tentang keadilan hukum. Tentang beberapa kasus hukum yang tidak begitu adil menurut saya juga. Kasus pertama menyoroti tentang vonis siswa SD yang menyengatkan lebah akhirnya divonis bersalah meskipun hukumannya hanya dikembalikan kepada orang tua. Kasus kedua memberitakan tentang vonis bersalah kepada tertuduh pencuri buah randu sebanyak 4 orang dan dihukum 24 hari penjara dikurangi masa tahanan. Kedua kasus ini menambah deretan panjang kasus-kasus lain tentang keadilan yang mungkin sudah tidak ada di negara ini. Para majelis hakim dengan entengnya memvonis terdakwa yang tidak mempunyai akses kemana-mana tapi melenggangkan terdakwa yang kaya dan punya akses.

Kasus Mpok Minah yang dihukum karena mencuri dua butir buah kakao. Kasus petani yang dihukum karena mencuri buah semangka. Kasus pemuda asal kota Serang yang terancam hukuman 4 tahun gara-gara mencuri sebuah kaus bekas. Itu sederetan kasus yang membuat hukum di Indonesia menjadi surga bagi para penjahat kelas kakak (baca: para pejabat penjahat). Kasus Robert Tantular yang hanya divonis 5 tahun padahal sudah merampok uang negara 6,7 triliun.

Oalah jan, saya tidak ngerti dengan apa yang terjadi dengan negara ini. Apa yang bisa dilakukan sama Pak Patrialis ya tentang kasus ini? Ya paling hanya melakukan kunjungan. (Buat Pak Patrialis, maaf klo anda tersinggung).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Enaknya Jadi Penjahat (Napi) di Indonesia

Koran Kedaulatan Rakyat edisi Jum'at, 29 Januari 2009 memuat berita tentang "Boleh, Ruang Karaoke dalam Lapas, Asal....". Dalam berita itu sang Manteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar sedang mengunjungi Rutan Kelas II A Yogyakarta. Seperti biasa saat seorang Menteri sedang melakukan kunjungan, pasti dia memberikan janji-janji untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, janji-janji untuk perbaikan Indonesia kedepan, dan tak kalah pentingnya, biasanya tempat kunjungan diberi "jatah" uang rakyat dengan dalih sumbangan, padahal menurut saya itu hanya untuk citra baiknya saja. Memang tak dipungkiri, sekolah saya dulu juga seperti gitu, mendatangkan tokoh ke sekolah yang intinya untuk menyumbang pembangunan gedung, saat sang tokoh bersalah, tak ada kebencian, yang ada malah kata-kata "yah biarpun dia bersalah, tapi diapernah nyumbang kita lho". Hmmm, enak juga ya kalau punya uang banyak.

Tapi, ada janji yang menurut saya aneh yang di ungkapkan oleh Patrialis Akbar. Pertama, "Kita akan perjuangkan gaji petugas, paling lambat 2011" ujar Patrialis yang katanya guna mengurangi pungli dalam lapas. Hmmm, aneh, kenaikan gaji itu bukan berdasar pertimbangan bahwa memang para petugas itu harus mendapat gaji yang layak, tapi atas dasar supaya tidak ada pungli. Coba dipikir, klo gaji petugas lapas di naikkan gara-gara kemaren ada kasus sidak yang memergoki penjahat kelas kakap mendapat fasilitas mewah, maka, beberapa hari kemudian saya sarankan semua guru di Indonesia berhenti mengajar atau lakukanlah pungutan liar kepada para siswa supaya gaji para guru naik. Para buruh juga saya sarankan supaya kalian semua mogok kerja supaya gaji kalian naik. Bayangkan, klo kebijakan itu sampai dilaksanakan, implikasinya, semua akan menyontoh tindakan para petugas lapas tersebut. Saya bukannya tidak mendukung kenaikan gaji para petugas lapas tersebut, tapi waktu penerapan itu yang tidak tepat. Kenapa ada janji menaikkan saat sudah ada kasus? kenapa tidak sedari dulu dilakukan analisis apakah gaji sipir layak bagi mereka? Kalau dinaikkan karena mereka melakukan pungli, bisa-bisa elemen lain melakukan protes kenaikan gaji dengan cara yang sama. Kalau memang gaji sipir mau dinaikkan, kasih penjelasan kepada mereka bahwa ini bukan karena kasus pungli kemaren, tapi lebih karena mempertimbangkan kebutuhan para sipir. Dan jangan lupa, analisis juga UMR di masing daerah, analisis gaji guru. Jangan hanya menganalisis gaji DPR saja.

Kedua, Patrialis berharap akan ada Universitas yang membukan program sarjana di Lapas, dan juga ada pengusaha yang mau meneripa mantan napi sebagai pegawainya. Jika memang kebijkan tersebut beliau perjuangkan, saya juga akan lebih senang kalau jadi napi. Bayangkan lagi, tujuan mereka dijebloskan kedalam penjara adalah untuk membuat mereka jera, tapi ternyata malah di beri fasilitas. Hmmm...saya tak bisa memahami jalan pikiran Patrialis. Ini benar-benar dari hati nuraninya atau hanya untuk politik pencitraan saja? Ditambah lagi, Patrialis bilang, "Kalau memang dokter merekomendasikan perlu adanya AC di dalam lapas ya tidak apa-apa diadakan AC". Weleh, saya tidak habis pikir apa yang ada di otak Patrialis. Napi tapi dapat fasilitas AC? Bisa-bisa rakyat Indonesia banyak yang ingin jadi Napi. Lagi-lagi, enak juga ya jadi napi.

Ketiga, Patrialis bilang "Masalah ruang karaoke di dalam lapas tidak usah dipersoalkan, asalkan bisa digunakan oleh semua napi". Pernyataan yang aneh keluar lagi dari mulut Patrialis. Rakyat di Indonesia yang baik saja belum tentu mendapatkan fasilitas karaoke, tapi kenapa para napi saja malah disediakan? Pantas saja penjara di Indonesia sangat kekurangan daya tampung. Pasalnya di dalam penjara memang enak. Bisa saja kita meminta diadakan permainan lain asal bisa dinikmati bersama. Lama-lama, akan ada pasti napi yang minta pengadaan PlayStation. Ketiga kalinya saya menyebutkan, jadi napi memang enak.

Negara kita tercinta ini memang lama-lama dikuasasi oleh orang-orang yang aneh. Orang-orang yang suka mengutarakan janji-janji hanya untuk pencitraan dirinya. Bisa-bisanya berjanji akan memberikan fasilitas yang layak kepada para napi. Yang seharusnya jera masuk penjara, bisa jadi malah berubah jadi ketagihan. Yah, semoga Pak Patrialis bisa berfikir lagi sebelum berucap. Saya pikir dia orang cerdas yang mengerti apa yang harus dia lakukan dengan benar. Saya hanya bisa berdoa semoga Patrialis insaf. Terakhir, saya masih berpendapat, "Ternyata enak juga ya jadi Napi."

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen Guru (Putu Wijaya)

Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan
istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa
depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami
cepat-cepat ngajak dia ngomong.
"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu?
Betul?!"
Taksu mengangguk.
"Betul Pak."
Kami kaget.
"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."
Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka.
Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami dengar.
Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak
tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari
apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui
permasalahannya.
Kami bertambah khawatir karena Taksu tidak takut bahwa
kami tidak setuju. Istri saya menarik nafas dalam-dalam
karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai bicara
blak-blakan.
"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali
saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan
cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di
kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh
globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini
tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya
jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih
yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja.
Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan
loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi
guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal,
kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"
"Tapi saya mau jadi guru."
"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup
guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawartawarkan
sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau
beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol
besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya
saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga
guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena
profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat
ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu.
Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya
menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada
guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang
punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan.
Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik
menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa
kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu
masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah
sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan
otak dingin!"
"Sudah saya pikir masak-masak."
Saya terkejut.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
Taksu menggeleng.
"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya
ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!”
Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel
sepanjang perjalanan. Yang dijadikan bulan-bulanan, saya.
Menurut dia, sayalah yang sudah salah didik, sehingga Taksu
jadi cupet pikirannya.
"Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak
perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh
diri!"
Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak
disukainya, semua dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib
suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa galak melebihi
macan, berhadapan dengan istri, hancur.
Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami
berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya.
Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan kosong. Istri saya
membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri
membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai
kejutan.
Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat
terpukul. Ketika kami tanyakan bagaimana hasil
perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban
yang sama.
"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak,"
katanya sama sekali tanpa rasa berdosa.
Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi.
Langsung kencang mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang
marahnya. Taksu disemprotnya habis.
"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh
oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri
saya. "Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru
itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua!
Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang
sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca
di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat
sekarang? Ah?”
Taksu tidak menjawab.
"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi
lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji yang
setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu,
sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orangorang
seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau
banting tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu
tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang
yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru.
Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba
dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya
nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja
kamu tidak nyahok?"
Taksu tetap tidak menjawab.
"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu
sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah
sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu.
Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang
meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya
duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memakimaki
duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit?
Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu
pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu
menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak
berguna? Paham?"
Taksu mengangguk.
"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"
Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya.
Akhirnya dia menyembur.
"Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir
lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih
mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal
hidup matimu sendiri, Taksu!”
Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik
saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di jalan istri
saya berbisik.
"Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu,
sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang memerlukan
perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang
menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak
zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top
tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya
mau mengikuti apa nasehat kita!"
Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya
bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya atau
kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin
akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa
saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih
kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur
suami, dari perasaannya sendiri.
Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga
tidak menghubungi kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak
memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu
minta diperhatikan anak.
Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi.
Sekali ini saya datang dengan kunci mobil. Saya tarik
deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil.
Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya
kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan
bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya,
jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan,
nanti.
"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci
mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus
memberi hadiah buat Bapak.”
Taksu melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Pak?"
Saya tersenyum.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk
memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu
sebenarnya?"
Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut
kembali.
"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh
kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa
kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang
tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami,
Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu
meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami
juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa
dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau
kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok
mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi
guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali
menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga
semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran.
Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"
Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya.
Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di
dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya.
Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas
perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas
telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.
"Saya ingin jadi guru. Maaf."
Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya
tampar. Kebandelannya itu amat menjengkelkan. Pesawat
penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cukup baik.
Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam
dan masukkan ke kantung celana.
"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan
kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja
sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung
bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu
baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan
itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan
lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti
akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat
hancur! Tapi tak apa."
Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar
naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah dicocok hidungnya
oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu,
kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap
sudah kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya
terkiblat pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!
Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya
membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya
mengajukan pertanyaan yang sama.
"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu
sebenarnya?"
"Mau jadi guru."
Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas
meja. Gelas di atas meja meloncat. Kopi yang ada di dalamnya
muncrat ke muka saya.
"Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup
buat membuka mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki
oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu mau jadi
guru, Taksu?!!!"
"Karena saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"
"Saya mau jadi guru."
"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."
Taksu menatap saya.
"Apa?"
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau
sekarang juga!!" teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.
"Bapak tidak akan bisa membunuh saya."
"Tidak? Kenapa tidak?"
"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa
busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap
tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan
memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan
datang. Guru tidak bisa mati, Pak."
Saya tercengang.
"O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau
jadi guru?"
"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau
mati."
Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak
saya. Saya jadi gugup.
"Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori
pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu? Siapa yang
sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?"
Taksu memandang kepada saya tajam.
"Siapa Taksu?!"
Taksu menunjuk.
"Bapak sendiri, kan?"
Saya terkejut.
"Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu!
Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup dengan
nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu
kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau
main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada
guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu
tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu
kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan
menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus
kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu
harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati
mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu
tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?"
Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua
persepsinya tentang hidup. Dengan tidak malu-malu lagi,
saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-mentang
cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang
gelap.
"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta
bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip
iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi
buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah
terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak
berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi
kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan
keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab
mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara
bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup
di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan
pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan
dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu
semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita
bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang
menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya
memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih
manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau
menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab?
Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga!
Ini!"
Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya
dengan sangat marah.
"Ini satu milyar tahu?!"
Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu
saya ambil kembali sambil siap-siap hendak pergi.
"Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab
kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan perempuan itu.
Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali
perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat
gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"
Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan
pada istri saya apa yang sudah saya lakukan. Saya kira saya
akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya bengong. Ia tak
percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika
kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan saya
dibentak habis-habisan.
"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!"
teriak istri saya kalap.
Saya bingung.
"Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau
memang mau ngasih anak mobil, kasih saja jangan pakai
syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak
dagang. Dasar mata duitan!"
Saya tambah bingung.
"Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"
Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur,
hati saya rontok. Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas
tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat ke
sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi
buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program
bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi
tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan
lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana
mungkin saya akan biarkan dia kabur?
"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.
Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi
sudah terlambat. Anak itu seperti sudah tahu saja, bahwa
ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu
sudah kosong. Dia pergi membawa semua barangbarangnya,
yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan
pesan kecil:
"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."
Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari
buku hariannya itu. Kertas yang nilainya mungkin hanya
seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang
harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya.
Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang
masih ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah sudah
takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau
saya kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan
pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang
sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia,
padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang
brengsek.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran
listrik. Tetapi ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri
saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu ia
mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan
kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi
sasaran. Untuk pertama kalinya saya berontak. Kalau
tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya balbalan.
Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang
sebab untuk pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di
bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar keras.
Tetapi itu 10 tahun yang lalu.
Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses
segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan.
Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul
beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar
yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor
barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai
wilayah mancanegara.
"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya.
Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik
generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena
jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika
Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah
pergurauan tinggi bergengsi. ***
Mataram,Jakarta, 22-10-01
Jakarta, 31-12-01
Sumber: Jawa Pos, Edisi 05/08/2005

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen Moksa (Putu Wijaya)


Telepon berdering di kamar praktik dokter Subianto. Dokter yang sedang menyanyi-nyanyi sambil memeriksa pasiennya itu, mengangkat telepon.
"Hallo, ini pasti kamu Moksa!"
"Bener, Pak."
"Kamu kan janji mau pulang. Jam begini kamu kok belum datang?"
"Moksa tidak jadi pulang."
"Lho, kenapa? Kamu bilang kamu butuh duit untuk beli kado buat teman baik kamu itu."
"Pokoknya tidak jadi. Dan Moksa tidak jadi pulang. Mau langsung ke pesta ulang tahun kawan itu."
"Lho, katanya kamu tidak punya uang untuk beli kado!"
"Udah beres!"
"Beres gimana! He Moksa, Ibu kamu minta diantarkan makan di Planet Hollywood."
"Tidak bisa Pak. Besok aja. Moksa pulang besok, Minggu."
"Tapi kamu kan butuh duit..."
"Udah ya Pak. Selamat malam Minggu sama Ibu. Besok Moksa pulang!"
"Tunggu!"
"Tidak bisa, ini coinnya sudah habis."
Telepon putus.
Dokter Subianto tertegun. Kelihatannya kesal. Dia menghampiri pasiennya dan tanpa ditanya lantas ngomong.
"Anak-anak sekarang memang lain dengan kita dulu," katanya sambil meneruskan menelusuri tubuh pasiennya dengan stetoskop.
"Kenapa, Dok?"
"Itu anak saya yang indekos di Depok supaya dekat sekolahnya, pulangnya hanya sebulan sekali. Ini ibunya sudah rindu setengah mati, tapi dia nggak jadi pulang. Padahal kemaren merengek-rengek minta uang bulanannya ditambahin 100 ribu, sebab ada kawannya yang ulang tahun. Saya bilang boleh saja, asal jelas untuk apa, tetapi harus pulang dulu! Sekarang dia tidak mau pulang. Dia cuma mau uangnya. Akibat iklan-iklan tv, anak-anak sekarang memang jadi mata duitan semuanya. Oke. Sudah. Anda sudah tokcer. Anda sudah boleh melakukan apa saja dan makan apa saja sekarang, asal jangan berlebihan seperti pejabat-pejabat yang KKN itu!"
Pasien mengucapkan terima kasih, lalu pergi keluar. Dokter Subianto kembali menggumankan lagu kegemarannya. Langgam Melayu Seroja ciptaan almarhum S. Effendie.
"Mari menyusun, bunga Seroja......"
Pintu belakang terbuka. Kepala istrinya nongol.
"Moksa nelpon ya?"
Dokter menarik napas panjang.
"Ya. Tapi dia tidak bisa pulang. Tetap saja urusannya sendiri yang lebih penting. Kita memang sudah dia tinggalkan. Ini memang nasib semua orang tua. Uang sakunya harus dikurangi lagi, supaya dia terpaksa pulang."
Istri dokter masuk. Dia tampak sangat gembira. Dokter Subianto jadi heran.
"Kenapa kamu gembira sekali, padahal kamu harusnya marah besar sebab tidak jadi ke Planet Hollywood, sebab tidak ada yang mengantar, karena aku juga tidak bisa membatalkan pertemuanku dengan dokter Faizal malam ini di rumahnya!"
Istri dokter Subianto duduk di kursi.
"Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku sudah cukup senang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi."
"O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya."
"Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja kepadaku. Nah sekarang aku menceritakan kepada kamu."
"Apa lagi apologinya kali ini?"
"Bukan apologi."
"Apa lagi rayuannya kali ini supaya kamu tidak marah dan menyediakan duit 100 ribu besok, karena dia sudah pinjam dari temannya, sebab itu memang lebih praktis daripada pulang naik bus yang kumuh, sesak dan panas. Ah anak-anak sekarang memang sulit dilatih prihatin. Maunya enak. Ini gara-gara gaya hidup wah yang sudah dipompakan oleh televisi dan majalah-majalah wanita!"
Istri dokter Subianto tersenyum saja. Sekali ini ia tidak mencoba mendebat suaminya. Ia menunggu sampai lelaki itu tenang. Lalu sambil tersenyum bangga ia bercerita.
"Anakmu Moksa sudah melakukan sesuatu yang amat mengharukan hari ini," kata wanita itu dengan mata berkaca-kaca. "Dia sama sekali tidak meminjam uang temannya untuk beli kado. Tapi dia berusaha dengan cucur-keringatnya sendiri. Dan kamu pasti akan terkejut kalau mendengar apa yang sudah dikerjakannya untuk mendapatkan uang."
Tiba-tiba wanita itu tidak dapat menahan emosinya. Ia menangis, tetapi bukan sedih. Tangis haru karena gembira. Dokter Sugianto jadi berdebar-debar.
"Apa lagi yang dilakukan oleh Moksa? Dia mencuri?"
Nyonya dokter berhenti menangis.
"Masak mencuri!"
"Habis apa? Kamu kok menangis?"
"Aku menangis karena terharu."
"Kenapa terharu?"
"Sebab anakmu ngamen di dalam bus!"
"Apa?"
"Ngamen!"
Dokter Subianto tertegun. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Dan tambah tak percaya lagi ketika istrinya menambahkan.
"Dan dia menyanyikan lagu Seroja kegemaranmu itu di dalam bus dengan gitarnya. Banyak orang terharu. Suaranya kan memang bagus dan main gitarnya pinter. Tak tersangka-sangka ia bisa mengumpulkan banyak, karena orang-orang itu memberinya dengan senang hati."
Dokter Subianto tak mampu bicara apa-apa. Ia ikut terharu. Anak yang selalu dikhawatirkannya sudah hampir sesat karena pergaulan metropolitan, ternyata masih lempeng. Bahkan mampu berdikari mencari duit dengan ngamen. Itu memerlukan keberanian dan ketekunan. Tidak sembarang orang akan mampu berbuat seperti itu. Itu harus dibanggakan.
Pintu kamar praktek terbuka. Zuster yang membantu mengatakan di depan masih ada satu pasien lagi hendak masuk. Istri dokter menghapus air matanya lalu diam-diam masuk ke dalam. Waktu itu dokter Subianto tak mampu menahan kucuran air matanya. Ia cepat berpaling ke sudut dan menghapus rasa haru itu.
Ketika Subianto berbalik dan berhasil menenangkan perasaannya, di depan mejanya sudah duduk pasien. Orangnya hitam kurus, pakai rompi hitam dan nampak amat kesakitan. Setelah diperiksa ternyata ia memiliki benjolan merah di dada kanannya. Dokter Subianto memperkirakan itu semacam tumor lemak. Ia cepat menulis resep.
"Dalam tiga hari, kalau tidak ada perbaikan, cepat datang lagi kemari. Mungkin memerlukan perawatan lain. Tapi kalau sudah mendingan, teruskan minum obatnya sampai habis. Ini ada 4 macam."
Subianto menyerahkan resep itu. Pasien melihat ke atas resep lalu memandang ke dokter seperti bimbang.
"Kok banyak sekali Dokter?"
"Bisa diambil separuhnya saja dulu."
"Ini kira-kira berapa Dokter?"
"Ya mungkin sekitar seratus ribu. Sekarang obat-obatan memang mahal sekali."
Lelaki itu tertegun. Dokter Subianto heran.
"Kenapa?"
"Saya tidak punya uang Dokter. Bahkan saya juga tidak punya uang lagi untuk bayar Dokter. Tadi di dalam bus waktu kemari, saya ketemu dengan seorang anak muda. Kelihatannya lagi susah. Karena ia duduk di samping saya, saya tanyakan apa sebabnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak punya uang untuk beli kado, buat teman baiknya. Saya katakan kepada dia, bahwa kado itu bukan tujuan dari ulang tahun. Kita datang dengan tangan kosong dengan hati bersih saja sudah cukup. Dia termenung mendengar apa yang saya katakan. Lalu saya menceritakan banyak hal, panjang lebar, karena saya lihat dia begitu sungguh-sungguh mendengarkan. Waktu turun, dia mencium tangan saya dan mengucapkan terima kasih. Saya tanyakan siapa namanya dan siapa orang tuanya. Tapi dia tidak mau menjawab. Namun saya yakin karena suaranya, tubuhnya, dan gerak-geriknya juga hidungnya anak itu....... anak Dokter. Maaf, Dokter punya anak yang tinggal di daerah Depok, bukan?"
Dokter Subianto terkejut.
"Ya, anak saya Moksa, indekos di situ."
"Dia memiliki tahi lalat di mata kanannya?"
"Ya betul."
"Maaf, kalau tidak salah, kidal?"
"Betul."
Pasien itu termenung. Ia kelihatan susah ngomong.
"Kenapa? Bapak kesakitan?"
Pasien itu seperti tak mendengarkan kata dokter, dia terus bercerita.
"Waktu saya mau bayar bus, saya baru sadar, dompet saya sudah hilang. Semua uang saya untuk berobat ada di dalamnya. Saya bingung. Tapi karena sakitnya bukan main, saya teruskan saja kemari. Jadi begitu Dokter. Maaf, apa saya bisa membayar Dokter lain kali saja?"
Dokter Subianto tercengang.
"Jadi, anak saya itu sudah mencopet Bapak?"
"Anak Bapak? Benar dia anak Dokter?"
"Maksud saya, anak itu. Anak itu sudah mencopet Bapak?"
"Saya tidak tahu. Mungkin tidak."
"Berapa isi dompet Bapak?"
"Seratus ribu."
Dokter Subianto termenung beberapa lama. Kemudian dia bergegas membuka laci mejanya. Mengeluarkan 100 ribu dan memberikan kepada orang itu.
"Ini. Tebuslah resep itu."
Orang itu tercengang. Nampak agak malu.
"Pak Dokter meminjami saya uang?" tanyanya seperti tidak percaya.
Dokter Subianto menggeleng. Ia mengajak orang itu ke pintu.
"Tidak. Bapak tidak perlu mengembalikan, pakai saja uang itu untuk menebus resep. Saya justru minta maaf atas kelakuan anak saya. Moksa memang nakal. Saya akan memberi dia peringatan keras. Sekali lagi minta maaf. Kalau ada yang perlu saya bantu, datang saja jangan ragu-ragu."
Dokter Subianto membuka pintu dan mempersilakan.
"Selamat malam."
Orang itu nampak seperti merasa bersalah. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi Subianto cepat menutup pintu. Lalu menjatuhkan badannya di kursi sambil memukul meja.
"Bangsat!"
Untung tidak ada pasien lagi. Konsentrasi Subianto sudah buyar. Begitu selesai praktek, ia menceritakan secara sekilas apa yang sudah terjadi pada istrinya. Tanpa mendengarkan komentar istrinya, ia langsung masuk ke mobil, menuju ke rumah pondokan Moksa di Depok.
Subianto terpaksa menunggu di ruang tamu, karena Moksa baru saja berangkat ke pesta. Ia menghabiskan 5 gelas teh, karena perasaannya tak menentu. Tengah malam Moksa baru muncul. Anak itu juga nampak heran melihat papanya sudah menunggu.
"Kan saya bilang besok pulangnya, Pak?"
Subianto menyembunyikan kemarahannya dengan senyuman.
"Ibumu tidak bisa menunggu sampai besok. Kamu harus pulang sekarang."
Moksa terpaksa ikut. Dengan muka agak mengantuk, ia duduk di mobil di samping bapaknya. Ketika ia hampir saja tertidur, bapaknya mulai bicara.
"Bapak dengar kamu sudah ngamen tadi untuk dapat beli kado."
"O Ibu udah cerita?"
"Ya. Dapat berapa?"
"Lumayan. Yang penting kan bukan kadonya tetapi kehadirannya."
"Jadi kamu menyanyikan lagu Seroja di dalam bus?"
Moksa tersenyum.
"Bener kamu menyanyikan lagu Seroja?"
"Ya bener dong, masak tidak."
Subianto mengangguk.
"Di antara yang memberi kamu uang, ada lelaki pendek hitam dan memakai rompi hitam?"
Moksa mengerling.
"Kok Bapak tahu?"
"Ibu kamu menceritakan semuanya."
"Tapi Moksa tak menceritakan tentang orang itu."
"O ya?"
"Moksa hanya bilang, orang-orang di dalam bus itu heran sebab Moksa ngamennya lain. Kok pakai lagu Seroja. Mereka tertarik dan menanyakan apa Moksa pengamen betulan? Moksa jawab tidak. Cuma iseng. Kebetulan kurang duit buat beli kado untuk temen. Ee tahunya semua pada bersimpati, lalu ngasih. Kecuali Bapak itu."
"Bapak yang mana? Yang pakai rompi hitam?"
"Bapak kok seperti paranormal, tahu aja. Ya, dia pakai rompi hitam. Dia paling menikmati lagu Moksa tapi nggak mau ngasih duit."
"O ya? Dia tidak ngasih apa-apa?"
"Nggak. Nggak ngasih apa-apa. Tapi untuk menghargai perhatiannya pada lagu Moksa, Moksa menyanyikan lagu itu sekali lagi khusus untuk dia. Lalu dia memanggil Moksa. Katanya, itu lagu nostalgianya. Moksa juga bilang itu lagu nostalgia Bapak. Lantas dia nanya siapa sebenarnya Moksa. Ya Moksa terus terang saja, Moksa ini anak dokter Subianto. Dia manggut-manggut. Dia terus mendesak supaya Moksa mnceritakan tentang Bapak. Ya Moksa cerita seadanya saja, semuanya. Lama juga kami ngobrol. Kami salam-salaman sebelum pisah. Moksa terus ngamen sampai capek, karena rasanya enak dapat uang karena cucur keringat sendiri, makanya kagak jadi pulang."
Dokter Subianto tertegun. Ia menghentikan mobil.
"Kenapa Pak? Ngantuk?"
Subianto menggeleng.
"Nggak. Aku hanya terkejut."
"Kenapa?"
"Karena Bapak kira Bapak ini cerdik, ternyata dengan gampang ditipu orang."
"Ditipu bagaimana?"
"Dikerjain. Melayang seratus ribu rupiah dalam sekejap!"
"O ya? Kok bisa?"
Dokter Subianto menarik napas panjang, lalu menceritakan apa yang sudah terjadi di kamar praktek sore itu. Moksa mendengar dengan penuh perhatian.
"Jadi orang itu datang ke ruang praktek Bapak?"
"Ya. Karena dia tahu data-data kamu, dia datang dengan begitu meyakinkan. Dia menjual cerita bohong dengan begitu lihai, sehingga Bapak kehilangan 100 ribu. Habis dia bilang, dia tergugah mendengar cerita kamu. Masak anak dokter kok ngamen. Lalu dia mengeluarkan uang dari koceknya dan memberi kamu 100 ribu. Padahal uang itu mestinya untuk beli obat. Bapak jadi merasa tak enak. Akhirnya Bapak terpaksa mengganti 100 ribunya. Dia berhasil menipu Bapak dengan mempergunakan data dari kamu. Itu pasti penjahat profesional. Sebelum melakukan kejahatannya, dia pasti sudah menyelidiki kita. Dia tahu siapa kamu dan siapa Bapak. Kalau tidak, dia tidak akan berhasil menipu dengan selicin itu. Dunia ini sudah penuh dengan kejahatan sekarang. Bapak harus lebih waspada sekarang. Kamu juga harus hati-hati."
Moksa terdiam. Ia nampak memikirkam dalam-dalam. Lalu Subianto menghidupkan mesin kembali. Mobilnya meluncur seperti kesetanan. Di rumah ia hampir saja menubruk pagar.
Istri dokter Subianto memeluk Moksa begitu mereka sampai.
"Kamu anak hebat. Ternyata kamu bisa mandiri, kalau kamu mau. Ibu bangga sekali pada kamu!"
Subianto cepat-cepat pergi ke kamar studinya. Kalau sedang senewen, ia suka tidur di situ menyepi. Tanpa salin pakaian, ia berbaring. Kecewa karena merasa sudah gagal mendidik anak. Ia menyesali dirinya karena terlalu sibuk. Kenapa ia dulu memilih jadi dokter, padahal ia tahu dokter sepanjang hari sibuk, tak akan sempat memperhatikan anak. Mestinya dia jadi seniman saja, supaya bisa menemani anak 24 jam. Mestinya ia tidak membiarkan Moksa indekos di Depok, supaya bisa diawasi terus. Sekarang sudah terlambat.
"Kini sudah waktunya. Aku harus, harus, harus, harus bicara pada Moksa secara blak-blakan, serius, dan keras. Kalau tidak, akan terlalu terlambat!" bisiknya dengan geram.
Sampai subuh, Subianto tak bisa memincingkan matanya. Tapi baru saja lelap sebentar, istrinya muncul membangunkam. Ternyata hari sudah pukul sebelas siang.
"Moksa sudah menunggu kamu sejak tadi. Dia ingin bicara. Kelihatannya serius sekali," kata istrinya.
Subianto duduk lalu memberi isyarat supaya Moksa disuruh masuk. Perempuan itu berbalik lalu memberi isyarat pada anaknya yang sudah sejak tadi menunggu di pintu. Dengan anggukan rahasia Subianto minta supaya istrinya pergi.
"Selamat siang, Pak. Bapak nggak ke kantor?"
"Selamat pagi Moksa. Bapak kurang enak badan. Kamu mau bicara dengan Bapak?"
"Ya."
Subianto memandangi Moksa tajam.
"Apa lagi? Mau menuntut kenaikan uang saku?"
"Tidak."
"Tidak? Lalu apa?"
Moksa terdiam.
"Ada apa Moksa?"
Moksa menunduk. Setelah diam beberapa lama, ia berbisik. Suaranya hampir tidak kedengaran.
"Pak, kenapa Bapak percaya pada Moksa?"
Giliran Subianto yang terkejut.
"Maksudmu apa?"
"Kata Bapak, Bapak sudah ditipu oleh pasien yang mengaku memberi Moksa uang seratus ribu itu!?"
"Betul."
"Berarti, Bapak percaya pada Moksa, dong!"
Subianto terdiam. Dadanya berdetak keras.
"Kenapa Bapak tidak percaya kepada orang itu?"
Subianto mengalihkan pandangan. Itu pertanyaan yang sulit.
"Kenapa Pak?"
Subianto menghela napas.
"Karena kasihan?"
"Tidak. Kenapa kasihan?"
"Kalau begitu kenapa?"
"Karena aku percaya kepada kamu, Moksa."
Moksa termenung beberapa lama.
"Jadi Bapak lebih percaya kepada Moksa?"
"Ya dong!"
"Jadi masih percaya?"
Subianto menarik napas.
"Ya dong! Kenapa tidak?"
Moksa menunduk. Tiba-tiba ia menangis. Subianto sangat terkejut. Tapi ia berusaha menahan perasaannya.
"Kamu menangis Moksa?"
Moksa mengangguk. Ia berusaha menahan isakannya.
"Kenapa kamu menangis?"
"Moksa malu, Pak."
"Malu? Kenapa?"
"Malu, karena Bapak masih percaya kepadaku."
Subianto terdiam. Moksa memaksa dirinya berhenti menangis. Lalu ia memandangi bapaknya.
"Moksa jadi malu sekali, sebab Bapak masih percaya pada Moksa. Beri Moksa kesempatan satu kali lagi Pak. Moksa akan mengubah semuanya ini. Bapak mau memberi Moksa kesempatan?"
Subianto bingung. Ia tidak tahu apa yang lebih baik. Menjawab ya atau tidak. Akhirnya ia menjawab, seperti orang yang bingung.
"Tak ada yang harus dimaafkan. Kalau kamu nanti besar dan sudah punya anak, kamu akan tahu sendiri, di dalam keluarga tidak ada maaf, semuanya sudah diselesaikan dengan sendirinya. Karena kepada siapa lagi kita bisa berbuat kesalahan kecuali kepada orang tuamu yang menyayangimu?!"
Moksa nampak semakin tertikam. Tapi kemudian ia berdiri dan menghampiri bapaknya. Memegang tangan orang tua itu, lalu menciumnya.
"Maap Pak."
Subianto tambah bingung. Ia mengangkat tangan dan mengusap kepala Moksa. Anak itu menangis kembali.
"Terima kasih, Bapak masih percaya kepada Moksa. Tidak ada yang lebih berharga dari kepercayaan Bapak buat Moksa. Moksa akan berusaha baik lagi, Pak. Moksa pergi sekarang, Pak, ada banyak PR. Moksa tidak mau ketinggalan lagi. Jangan katakan sama Ibu, ya Pak!"
Subianto mengangguk, lalu membarut kepala Moksa. Kemudian mencium kening anak yang cakep tapi badung itu. Moksa menangis lagi. Ia memeluk bapaknya erat-erat, kemudian cepat-cepat hendak pergi ketika terdengar suara pintu terbuka. Tapi ibunya keburu masuk.
Istri Subianto yang masuk karena mendengar suara tangis, terkejut karena tiba-tiba anak itu memeluk.
"Ibu, Ibu punya seorang suami yang hebat. Moksa ternyata punya Bapak yang hebat. Moksa balik dulu sebab banyak urusan. Nanti Moksa nelpon lagi. Kapan-kapan Moksa anterin Ibu ke Planet Hollywood. Moksa yang akan traktir dengan hasil ngamen."
Tak menunggu jawaban, Moksa mencium pipi ibunya, lalu bergegas keluar. Wanita itu hendak memburu keluar, tetapi Subianto memberi isyarat.
"Jangan, biar saja dia pergi."
Perempuan itu bingung.
"Tapi, kamu kemaren bilang, ini sudah terlalu berbahaya."
Subianto menggeleng.
"Kita harus memberi dia kepercayaan."
"Tapi...mungkin dia perlu uang!"
Subianto menggeleng.
"Kepercayaan adalah segala-galanya. Itu lebih penting dari uang!"
Wajah perempuan itu nampak semakin bingung. Ia mendekati suaminya, lalu mengembangkan tangannya. Di atas tangan itu Subianto melihat bungkusan plastik dengan bubuk jahanam.
"Aku temukan ini di kamar mandi. Moksa pasti kelupaan."
Dokter Subianto bergetar melihat barang-barang jahanam itu. Tetapi ia mencoba tenang. Hanya saja matanya tidak kuat. Nampak tetes air mata dari kedua mata yang sudah banyak diterpa kesedihan itu.
"Kita harus percaya dan menyerahkan dirinya kepada dirinya. Dialah yang paling bisa menjaga dirinya sendiri. Kita harus berhenti jadi polisi dengan memberinya kepercayaan. Inilah harapan kita sekarang, setelah semuanya gagal!" bisiknya sambil mencampakkan benda laknat yang sudah menghancurkan Moksa itu.
"Kita lawan semua ini dengan kepercayaan."
"Tapi apa bisa hanya dengan kepercayaan, Pa? Moksa sudah parah!"
"Kamu kira aku percaya pada semua ini? Tidak, Bu. Aku juga tidak percaya. Tapi kita harus percaya. Kita harus percaya Moksa akan bisa melawan itu semua. Dengan memberinya kepercayaan kita akan membantu ia keluar dari persoalannya. Harus, betapa pun kita tidak percayanya. Harus Bu!"
Istri Subianto terdiam, sementara Subianto sendiri berusaha melawan dirinya sendiri. Ia tahu kepercayaan itu baru bisa bekerja, kalau dia sendiri juga terlebih dahulu percaya. ***

sumber: http://kumpulan-cerpen.blogspot.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen Lelaki Sejati (Putu Wijaya)


Cerpen Putu Wijaya

Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?

Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.

Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.

Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.

Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.

Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?

Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?

Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.

Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.

Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.

Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.

Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!

Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?

Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati!
Kalau begitu apa dong?

Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.

Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.

Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?

Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?

Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.

Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?

Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.

Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!

Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.

Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.

Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?

Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!

Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.

Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati! ***

Denpasar, akhir 2004
sumber: http://kumpulan-cerpen.blogspot.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cara Meningkatkan Lompatan (Vertical Jump)


Dalam permainan bola basket, tinggi lompatan sangat menentukan kualitas permainan seorang pemain. Semakin tinggi lompatan seorang pemain maka bisa dibilang dia sudah bagus dalam bermain, meskipun masih ada skill dasar basket yang harus dia kuasai semisal Shoot, Dribble, Lay Up, Defense, Offense dan lain sebagainya.

Beberapa Skiil dasar tersebut di atas tentunya memerlukan lompatan yang tinggi. Dalam shooting, kekuatan lompatan bisa juga menghasilkan shoot yang akurat pula. Dalam melakukan lay-up maka akan semakin mudah jika lompatan kita tinggi.
Dalam defense,kemampuan lompatan yang tinggi akan memudahkan pemaian dalam mematahkan shooting lawan. Belum lagi jika kita ingin melakukan slam dunk, maka akan sangat memerlukan lompatan yang tinggi. Perlu di ingat, lawan kadang akan menganggap kita yang berukuran pendek, tapi jika kita memiliki postur pendek dan lompatan yang tinggi, maka lawan akan sangat segan terhadap kita. Lalu, bagaimanakah cara melatih tubuh kita supaya memiliki lompatan yang tinggi? berikut akan saya berikat link untuk mendownload video yang berisikan latihan untuk meningkatkan vertical jump. klik disini

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Stephen King Story

By: Mochammad Asrori


Sudah baca Hearts in Atlantis? The Girls Who Loved Tom Gordon? Bag of Bones? The Green Mile? Kalau Anda tak sempat, tonton saja filmnya. Judul-judul yang saya sebut barusan hanyalah segelintir dari kinarya seorang Stephen Edwin King yang berhasil memikat Hollywood dengan thriller-thriller tulisannya. Tak heran bila orang kemudian menjulukinya sebagai raja cerita triller.

Sebagai novelis produktif,Stephen King selalu tak habis pikir dengan penulis lain yang hanya menghasilkan tiga—empat karya sepanjang hidupnya (sungguhpun akhirnya semua berstatus best seller). Dia sendiri saat ini telah menghasilkan lebih dari 30 buku best seller tingkat dunia. Berbagai penghargaan pun telah diraihnya. Penerima medali The National Book Foundation Medal 2003 untuk kontribusi berharganya dalam dunia tulis Amerika ini juga menjadi juri untuk Prize Stories: The Best of 1999 dan The O. Henry Award.

Stephen lahir pada tahun 1947 di Maine, Portland. Dia anak kedua dari Donald dan Nellie Ruth Pillsbury King. Saat orangtuanya bercerai, dia dan kakaknya dibesarkan sendiri oleh sang ibu. Sebagian masa kecilnya dihabiskan di Fort Wayne, Indiana dan Stratford, Connecticut, di mana dia lebih sering di dalam rumah ketimbang sekolah lantaran kesehatannya yang buruk.

Stephen punya seorang kakak yang sinting, namanya David. Bocah ini penuh ide-ide gila. Yang sedikit waras mungkin ide menerbitkan Dave Rag, koran lokal yang diurus dan dicetak sendiri oleh remaja kencur itu. Stephen terlibat. Biasanya sang adik disuruh menulis tentang cerita bersambung. Pada debut karir “profesionalnya” sebagai penulis fiksi itulah Stephen mulai mempelajari pasar majalah Writer’s Digest.

Stephen mengirimkan cerita asli pertamanya, Happy Stamp, ke Alfred Hitchcock’s Mystery Magazines (AHMM). Tiga minggu kemudian cerpen itu dikembalikan dengan slip penolakan. Stephen lalu memalu paku di dinding dan menusukkan slip penolakan tersebut. Putus asa? Jangan salah. Secara periodik, Stephen tetap mengirimkan ceritanya ke beberapa majalah. Sampai tahu-tahu paku di dindingnya tak muat lagi dengan slip-slip penolakan. Cerpen pertama Stephen yang menghasilkan uang adalah The Glass Floor di Starting Mystery Stories. Itu terjadi baru pada tahun 1967 kelak.

Aktivitas di Dave Rag mengantar Stephen terpilih sebagai editor koran sekolah, The Drum. Di sini dia mendapat pelajaran yang tidak pernah dilupakannya. Pertama, saat Stephen mulai menyenangi film-film horor, fiksi ilmiah, atau film-film tentang geng remaja, datanglah ilham mengubah film The Pit and The Pendulum ke dalam buku. Stephen lalu mencetaknya di Drum Press, dan menjual kopiannya dengan label penerbit VIB (Very Important Book). Kedua, saat bosan mengedit The Drum dia malah membuat korannya sendiri, The Village Vomit, yang berisi kabar-kabar fiktif dan lelucon tentang para guru.

Kedua ulah itu sama-sama membawanya dipanggil ke kantor Kepala Sekolah. Tentu karena telah menjadikan sekolah sebagai ajang berjualan, seenaknya mengubah tulisan yang punya hak cipta, plus menjelek-jelekken citra guru. Ditambah lagi salah satu gurunya, Miss Hisler, menganggapnya menyia-nyiakan bakatnya dengan tulisan-tulisan sampah itu. Walaupun dengan tulus meminta maaf, Stephen tetap diskors.

Seminggu kemudian, pihak konselor sekolah dibantu John Gould dari mingguan Lisbon menyuruh Stephen menjadi reporter olahraga di Lisbon. Menurut mereka, itu akan baik untuk mengarahkan penanya yang gelisah ke saluran yang lebih konstruktif. Di sana, Stephen mendapat pelajaran berharga mengenai menulis dari Gould:

Menulislah dengan pintu tertutup, lalu menulis ulanglah dengan pintu terbuka. Hasil karyamu mulanya memang hanya untukmu, tapi kemudian keluar menjadi milik siapa saja yang ingin membaca atau mengkritiknya. Tapi yang terpenting, sadarilah bahwa pasti akan ada orang yang mengatakan apa yang kau lakukan sia-sia. Tiap penulis mengalaminya.

Kemampuan menulis Stephen pun terus diasah. Saat masa-masa susah di bangku kuliah Universitas Maine, Orono, dia menulis kolom mingguan untuk koran kampus. Stephen juga terlibat dalam gerakan antiperang Vietnam, aktif di percaturan politik kampus, menjadi anggota senat kampus. Dan satu lagi: Bertemu Tabitha Spruce, seorang mahasiswi Maine juga, di perpustakaan.

Stephen lulus dari Maine tahun 1970 dengan gelar B.A., dan berkualifikasi untuk mengajar di SMA. Tapi berderet masalah ditemukan dalam daftar kesehatan kelulusannya. Mulai dari tekanan darah tinggi, penglihatan yang terbatas, kaki datar, dan masalah di gendang telinga. Pada tahun 1971, Stephen menikahi Tabitha. Padahal dia tidak juga menemukan pekerjaan mengajar.

Stephen pun bekerja sebagai buruh di perusahaan laundry, sementara Tabitha bekerja di Dunkin’ Donuts. Dari sanalah keluarga King mengepulkan asap dapur, ditambah dengan uang pinjaman, tabungan, juga upah menulis cerpen di majalah-majalah pria. Sepanjang tahun awal-awal pernikahannya, Stephen terus menjual cerpen. Cerita-cerita tersebut kemudian dikumpulkan dalam koleksi Night Shift, atau dalam beberapa antologi.

Pada musim gugur 1971, Stephen mulai mengajar Business English SMA di Hampden Academy dengan gaji 6.400 dolar setahun. Tapi keadaan ekonomi keluarganya tidak kunjung membaik. Beberapa waktu keluarga itu tinggal di trailer besar tanpa telepon (mereka tak mampu membayar tagihannya). Namun Stephen terus menulis. Saat petang di akhir pekan, dia terus menghasilkan cerpen-cerpen, sambil menggarap novel Carrie, novel keempatnya setelah Rage, The Long Walk, dan The Runing Man.

Barulah di musim semi 1973, Stephen mendapat telegram dari Bill Thompson yang memberitahu bahwa Doubleday & Co. mau membeli novel Carrie. Stephen mendapat 2.500 dolar sebagai uang muka. Uang ini kemudian dibelanjakannya untuk mobil, sewa apatemen sederhana 90 dolar per bulan, dan memasang telepon lagi, sembari membayangkan bila novelnya dicetak dalam edisi paperback yang menawarkan keuntungan besar dan mengantarnya menjadi penulis penuh. Tapi novelnya tak kunjung terbit. Dia pun kembali pada rutinitasnya mengajar.

Di akhir musim panas 1973, Keluarga King pindah ke Selatan Maine karena ibunya jatuh sakit. Saat musim dingin, dia menyewa sebuah rumah musim panas di danau Sebago, Windham Utara, Stephen menulis novel di sebuah ruang kecil di garasi yang judul aslinya Second Coming and The Jerusalem’s Lot, namun akhirnya menjadi Salem’s Lot.

Pada Hari Ibu tahun 1973, tanpa diduga Bill Thompson dari Doubleday meneleponnya lagi. Beritanya, hak paperback untuk Carrie terjual ke Signet Books senilai 400.000 dolar, dan Stephen berhak menerima setengahnya. Angka yang menggiurkan. Tapi justru selama masa yang mulai menyenangkan tersebut, ibunya meninggal di usia 59 karena kanker.

Di musim gugur tahun yang sama keluarga King pindah ke Boulder, Colorado, dan tinggal di sana kurang dari setahun selama penulisan The Shining yang mengambil setting Colorado. Kembali ke Maine tahun 1975 dan membeli sebuah rumah di daerah bagian Barat danau Maine. Di rumah itulah Stephen selesai menulis The Stand, yang juga bersettingkan Boulder.

Keluarga King mencoba tinggal di Inggris pada tahun 1977 dalam waktu lama, namun baru tiga bulan, mereka memutuskan memotong waktu tinggal mereka dan membeli rumah baru di Center Lovell, Maine, pada pertengahan Desember. Setelah tinggal selama musim panas mereka kembali pindah ke Orrington, dekat Bangor, sehingga Stephen dapat mengajar penulisan kreatif di Universitas Maine, Orono.

Stephen membeli rumah kedua di sana dan menyewakan rumah di Center Lovell. Lantaran anak-anaknya mulai dewasa, dia dan istrinya sering menghabiskan musim dingin di Florida dan sisanya sepanjang tahun di Bangor dan Center Lovell. Mereka memiliki tiga anak, Anaomi Rachel, Joe Hill, dan Owen Philip, dan tiga orang cucu.

Dia mengambil beberapa teman kuliah yang berpengalaman di bidang drama untuk bermain di beberapa film yang mengadaptasi karyanya. Anaknya, Joe Hill, pun tampil di Creepshow yang dirilis tahun 1982. Stephen membuat debut penyutradaraan sebaik menulis naskah screenplay untuk film Maximum Overdrive yang mengadaptasi cerpennya, Truck (1985). Sampai sini, Stephen bukan lagi orang yang hidup susah. Nama Stephen King sudah menjadi jaminan novel-novel laris. Dia pun diundang di mana-mana, baik sebagai pembicara yang membahas penulisan fiksi maupun untuk pembacaan beberapa bagian novelnya di depan publik.

Stephen selalu mengandaikan pekerjaan menulis dengan pekerjaan pamannya yang tukang kayu. Paman Oren memiliki kotak perkakas kayu buatan tangan yang terdiri dari tiga tingkat. Walau berat, pamannya itu selalu membawa kotak perkakasnya lengkap, meski hanya untuk pekerjaan mudah.

Stephen pernah menanyakan masalah itu, mengapa membawa-bawa kotak perkakas keliling rumah padahal yang dia butuhkan cuma satu obeng. Coba dengar apa jawaban pamannya, “Ya. Tapi, Stevie, aku tidak tahu apa lagi yang akan kutemukan begitu aku sampai di sini, iya kan? Yang paling tepat adalah membawa semua peralatan. Jika tidak, kau biasanya akan menemukan sesuatu yang tidak kau harapkan dan jadi kecewa.”

Menurut Stephen, untuk menghasilkan tulisan terbaik, seorang penulis harus memiliki kotak perkakasnya sendiri, lalu mengerahkan segenap tenaga untuk mengangkat kotak perkakas tersebut. Selanjutnya, mengambil peralatan yang tepat untuk memulai menulis. Kotak perkakas penulis paling atas bisa jadi adalah kosakata, tata bahasa, dan sekelumit hal-hal di dalamnya.

Tapi yang terpenting untuk jadi penulis tentu saja banyak membaca dan banyak menulis. Dan jangan terlalu banyak menyaksikan tayangan televisi. Persaingan ketat untuk menjadi trend setter telah membuat televisi gagap dan terpaksa menjual program-program bermutu rendah. Televisi secara langsung telah membelusukkan masyarakat ke pola budaya instan, banyak omong, konsumerisme, gaya hidup mengharap pamrih hadiah.

Televisi datang relatif terlambat di rumah keluarga King, dan aku bersyukur karenanya. Aku, jika kau mau berhenti sejenak untuk merenungkannya, adalah anggota kelompok yang cukup terpilih: Sejumput novelis Amerika yang belajar membaca dan menulis sebelum mereka belajar menyantap sajian sampah televisi yang cenderung merugikan. Bila kau baru memulai menjadi penulis, dengan pengaruh televisi, engkau bisa bertindak lebih buruk ….

Ketika ditanya lebih lanjut rahasia kesuksesannya, Stephen biasa menjawab, “Ada dua: Berusaha tetap sehat secara fisik, dan mempertahankan perkawinan.” Bagaimanapun, kombinasi tubuh yang sehat dan hubungan yang stabil dengan seorang wanita telah membawa pabrik naskah itu terus berproduksi.

sumber: www.warungfiksi.net

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Enak kali ya jadi penulis tu...?



Setiap manusia ga bisa dipungkiri pasti selalu punya masalah. Selesai masalah yang satu pasti akan muncul masalah yang lain. Itu sebuah keharusan memang, karena manusia perlu sebuah pembuktian dari kayakinannya. Setiap masalah yang ia miliki adalah ajang pembuktian jati dirinya apakah dia bisa menyelesaikan masalah itu dengan keyakinannya.
Dan setiap orang punya cara-cara tersendiri dalam menyelesaikan masalahnya.Namun, tak bisa dipungkiri lagi, setiap orang pasti perlu berbagi. Berbagi kepada orang lain tentang masalah-masalahnya, meskipun sebenarnya dia yang paling tau tentang cara memesahkan
masalahnya. Tapi, keberadaan orang lain untuk tempat berbagi sangatlah penting. Seakan perasaan jadi tenang jika sudah berbagi dengan orang lain, meskipun terkadang masalah itu sendiri tidak terselesaikan. (Foto: Stephen King)




Nah, yang bikin susah, kadang kita harus memilih orang seperti apa yang pantas kita ajak berbagi. Tidak semua orang bisa menjaga rahasia, tidak semua orang pandai dan mau mendengarkan keluh kesah kita. Dan akhirnya, karena sulit menemukan orang yang tepat, masalah kita pendam sendiri. Memendam masalah kadang menjadi masalah tersendiri bagi seseorang. Ia akan tampak murung, tidak semangat, tidak antusias, dia mati sebelum mati. Dan ini kadang bahaya, orang-orang yang suka memendam masalah bisa benar-benar emosional saat merasa tersinggung, dan pasti orang seperti ini akan di asingkan. (Foto: JK. Rowling)

Mungkin, orang-orang seperti itu, yang susah menemukan orang untuk berbagi, perlu belajar menulis. Entah itu menulis cerita khayalan maupun menulis artikel. Karena dengan menulis, dia bisa berbagi dalam tulisannya. Dia bisa menceritakan masalahnya dalam tulisannya. Dan akhirnya, kalau dia berfikir ingin berbagi dengan orang lain supaya bisa membaca tulisannya, dia cukup dengan mempublikasikannya. Toh yang terpenting, dia sudah bisa berbagi masalahnya dengan tulisannya. Kalaupun tulisan itu sangat rahasia, ya cukup dia saja yang tau tanpa harus dipublikasikan. Intinya, menulis bisa jadi salah satu tempat untuk berbagi.

Enak kali ya jadi penulis tu...?hehehe

(belajar jadi penulis ah...) :-)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS